Surat An-Nuur : 2
1. Nash Ayat
ﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻴَﺔُ ﻭَﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻲ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭﺍ ﻛُﻞَّ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﻣِﺎﺋَﺔَ ﺟَﻠْﺪَﺓٍ ﻭَﻻَ ﺗَﺄْﺧُﺬْﻛُﻢْ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﺭَﺃْﻓَﺔٌ ﻓِﻲ ﺩِﻳﻦِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻭَﻟْﻴَﺸْﻬَﺪْ ﻋَﺬَﺍﺑَﻬُﻤَﺎ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ( ﺍﻟﻨﻮﺭ 2 )
Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS. An-Nuur : 2)
2. Sebab turunnya ayat :
An-Nasai menyatakan bahwa Abdillah bin Amr berkata.” Ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul (atau Ummu Mahdun) yang musafih. Dan seorang laki-laki shahabat Rasulullah SAW ingin menikahinya. Lalu turunlah ayat “Seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin ”.
Abu Daud, An-Nasai, At-Tirmizy dan Al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amru bin Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang bernama Mirtsad datang ke Mekkah dan memiliki seorang teman wanita di Mekkah bernama `Anaq. Lalu dia meminta izin pada Rasulullah SAW untuk menikahinya namun beliau tidak menjawabnya hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya,” Ya Mirtsad, seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin ”.
Para Mufassirin mengatakan bahwa ayat ini selain untuk Mirtsad bin Abi Mirtsad, juga untuk pra shahabat yang fakir yang minta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi para wanita pelacur dari kalangan ahli kitab dan para budak wanita di Madinah, maka turunlah ayat ini.
3. Pengertian Zina :
Para ulama fiqih memberi batasan bahwa zina yang dimaksud adalah masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita tanpa nikah atau syibhu nikah (mirip/setengah nikah) .
Bahkan ulama Al-Hanafiyah memberikan definisi yang jauh lebih rinci lagi yaitu : hubungan seksual yang haram yang dilakukan oleh mukallaf (aqil baligh) pada kemaluan wanita yang hidup dan musytahah dalam kondisi tanpa paksaan dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam) di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.
Bila kita breakdown definisi Al-Hanafiyah ini maka kita bisa melihat lebih detail lagi :
1. Hubungan seksual : sedangkan percumbuan yang tidak sampai penetrasi bukanlah dikatakan sebagai zina.
2. yang haram : maksudnya pelakuknya adalah seorang mukallaf (aqil baligh). Maka orang gila atau atau anak kecil tidak masuk dalam definisi ini.
3. pada kemaluan : sehingga bila dilakukan pada dubur bukanlah termasuk zina oleh Al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan oleh Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah meski dilakukan pada dubur sudah termasuk zina.
4. wanita : bila dilakukan pada sesama jenis atau pada binatang bukan termasuk zina.
5. yang hidup : bila dilakukan pada mayat bukan termasuk zina.
6. musytahah : maksudnya adalah bukan wanita anak kecil yang secara umum tidak menarik untuk disetubuhi.
7. dalam kondisi tanpa paksaan : perkosaan yang dialami seorang wanita tidaklah mewajibkan dirinya harus dihukum.
8. dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam)
9. di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.
Dalam pengertian zina, terkandung beberapa hal yang menentukan apakah sebuah perbuatan itu termasuk zina secara syar`i atau tidak, antara lain :
§ Pelakunya adalah seorang mukallaf , yaitu aqil dan baligh. Sedangkan bila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang wajib dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu.
§ Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori zina, namun punya hukum tersendiri.
§ Dilakukan dengan manusia yang masih hidup . Sedangkan bila seseorang menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
§ Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila dilakukan dengan memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita. Jadi bila dimasukkan ke dalam dubur (anus), tidak termasuk kategori zina yang dimaksud dan memiliki hukum tersendiri. Namun Imam Asy-Syafi`i dan Imam Malik dan Imam Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina yang dimaksud.
§ Perbuatan itu dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa baik oleh pihak laki-laki maupun wanita.
§ Perbuatan itu dilakukan di negeri yang secara resmi berdiri tegak hukum Islam secara formal, yaitu di negeri yang ‘adil’ atau ‘darul-Islam’. Sedangkan bila dilakukan di negeri yang tidak berlaku hukum Islam, maka pelakunya tidak bisa dihukum sesuai dengan ayat hudud.
4. Syarat Dilaksanakannya Hukuman Zina :
Sedangkan untuk sampai kepada eksekusi atas pelaku perzinahan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
a. Pelakunya adalah seorang yang sudah cukup usia (baligh).
b. Pelakunya adalah seorang yang sudah waras akalnya (aqil).
Seorang gila bila berzina dengan orang waras, maka yang dihukum hudud hanyalah yang waras saja, sedangkan yang gila tidak dihukum hudud.
c. Pelakunya adalah seorang muslim dan muslimah. Pendapat Al-Malikiyah bahwa bila seorang kafir laki-laki berzina dengan seorang wanita kafir maka tidak dihukum hudud tetapi dihukum ta`zir sesuai dengan pandangan hakim sebagai pelajaran bagi keduanya. Sedangkan bila laki-laki kafir berzina dengan wanita muslimah, maka yang laki-laki dihukum ta`zir sedang yang muslimah dihukum hudud.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa seorang kafir yang berzina dihukum hudud.
d. Perbuatan itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Jumhur ulama sepakat bahwa seorang yang berzina karena terpaksa, maka tidak dapat dijatuhi hukuman hudud. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan harus dihukum hudud. Namun Sehingga yang dizinai secara paksa atau diperkosa tidak dihukum.
e. Perbuatan itu dilakukan dengan seorang manusia bukan dengan hewan. Bila dilakukan dengan hewan, maka pelakuknya dihukum dengan ta`zir bukan dengan hudud. Sedangkan hukum hewan yang disetubuhi itu tetap halal dan dagingnya boleh dimakan. Namun Al-Hanabilah menyatakan bahwa bila perbuatan itu disaksikan oleh minimal 2 orang, maka hewan itu dibunuh, pelakunya diwajibkan membayar harga hewan itu tapi dagingnya tidak halal dimakan.
f. Pasangan itu baik laki-laki atau wanita adalah mereka yang sudah masuk kategori bisa melakukan hubungan seksual. Bila laki-laki bersetubuh dengan wanita di bawah umur, tidak dihukum hudud. Begitu juga bila seorang wanita dewasa bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh.
g. Perbuatan itu tidak mengandung syubhat. Seperti bila seorang menyangka wanita yang disetubuhinya adalah istrinya tapi ternyata bukan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan karena syubhatnya itu, maka Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan tetap harus dihukum hudud.
h. Pelakunya adlaah orang yang mengerti dan tahu bahwa ancaman hukuman zina adalah hudud yaitu rajam atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Sehingga bila pelakunya mengaku bahwa dia tidak tahu ancaman hukuman zina, maka para ulama berbeda pendapat.
i. Wanita yang dizinai bukanlah seorang kafir harbi.
j. Wanita yang dizinai adalah seorang wanita yang masih hidup atau bernyawa. Sedangkan menyetubuhi mayat memiliki hukum tersendiri.
5. Jenis Zina dan hukumannya
a. Jenis Zina
Para ulama membagi pelaku zina menjadi dua macam, yaitu :
- Pelaku zina yang belum pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut ghairu muhshan.
- Pelaku zina yang sudah pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut
muhshan.
b. Hukuman buat pezina :
Hukuman buat pezina terbagi dua macam sesuai dengan pelakunya, apakah muhshan atau ghairu muhshan.
§ Hukuman zina ghairu muhshan
Hukuman zina ghairu muhshan adalah jalad atau cambuk dan di asingkan selama setahun.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
“Wanita dan laki-laki yang berzina maka cambuklah masing-masing mereka seratus kali. "
Selebihnya yaitu tentang mengasingkan mereka selama setahun, para ulama sedikit berbeda pandangan :
ú Al-Hanafiyah berpendapat bahwa seorang muhshan cukup dicambuk 100 kali saja tanpa harus diasingkan selama setahun. Dalil yang mereka gunakan adalah zahir ayat yang secara terang hanya menyebutkan hanya cambuk saja tanpa menyebutkan pengasingan.
Dan bila ditambah dengan cambuk, maka menjadi penambahan atas nash dan penambahan itu menjadi nasakh. Jadi masalah mengasingkan bagi Al-Hanafiyah bukan termasuk hudud, tetapi dikembalikan kepada hakim sebagai bentuk hukuman ta`zir. Bila hakim memandang ada mashlahatnya maka bisa dilakukan dan bila tidak maka tidak perlu dilakukan.
ú Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpandangan bahwa mengasingkan pezina selama setahun adalah bagian dari hudud dan harus digabungkan dengan pencambukan. Pengasingan itu sendiri ditentukan bahwa jaraknya minimal jarak yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Dalil yang mereka gunakan untuk mengasingkan ini adalah sabda Rasulullah SAW :
“Ambillah dariku (ajaran agamamu) yang Allah telah jadikannya sebagai jalan. Perawan dan bujangan yang berzina maka hukumannya adalah cambuk dan diasingkan setahun. Dan orang yang sudah menikah yang berzina maka hukumannya adalah cambuk 100 kali dan rajam”.
Namun mereka mengatakan bahwa pengasingan ini hanya berlaku bagi lak-laki saja, sedangkan wanita yang berzina tidak perlu diasingkan kecuali ada mahram yang menemaninya seperti suami atau mahram dari keluarganya. Karena Rasulullah SAW melarang bepergiannya seorang wanita,” Wanita tidak boleh bepergian lebih dari 3 hari kecuali bersama suami atau mahramnya ”.
Al-Malikiyah berkata bahwa laki-laki diasingkan ke negeri yang asing baginya selama setahun, sedangkan wanita tidak diasingkan karena takut terjadinya zina untuk kedua kalinya sebab pengasingan itu.
§ Hukuman zina muhshan
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara umum yaitu,“ Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah”.
Dan secara praktek, selama masa hidup Rasulullah SAW paling tidak tercatat 3 kali beliau merajam pezina yaitu Asif, Maiz dan seorang wanita Ghamidiyah.
ú Asif berzina dengan seorang wanita dan Rasulullah SAW memerintahkan kepada Unais untuk menyidangkan perkaranya dan beliau bersabda,”Wahai Unais, datangi wanita itu dan bila dia mengaku zina maka rajamlah”.
ú Kisah Maiz diriwayatkan dari banyak alur hadits dimana Maiz pernah mengaku berzina dan Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya.
ú Kisah seorang wanita Ghamidiyah yang datang kepada Rasulullah SAW mengaku berzina dan telah hamil, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melahirkan dan merawat dulu anaknya itu hingga bisa makan sendiri dan barulah dirajam.
Zina muhshan adalah puncak perbuatan keji sehingga akal manusia pun bisa menilai kebusukan perbuatan ini, karena itu hukumannya adalah hukuman yang maksimal yaitu hukuman mati dengan rajam.
6. Syarat untuk merajam
Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu. Karena beratnya hukuman ini, maka sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup pelik. Syarat itu adalah terpenuhinya kriteria ihshah (muhshan) yang terdiri dari rincian sbb :
a. Islam
b. Baligh
c. Akil
d. Merdeka
e. Iffah
f. Tazwij
g. Pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari nikah yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini adalah yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah.
Bila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga hukumannya bukan rajam.
7. Penetapan / vonis zina
Untuk bisa melakukan hukuman bagi pezina, maka harus ada ketetapan hukum yang syah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari langit yaitu syariat Islam.
Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua cara :
a. Ikrar atau pengakuan dari pelaku
Pengakuan sering diseubt dengan ‘sayyidul adillah’, yaitu petunjuk yang paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah melakukan kejahatan. Bila seorang telah berikrar di muka hakim bahwa dirinya berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.
Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada Maiz dan wanita Ghamidiyah.
Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu dan menanyakannya,”Bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah”. Hadits menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa memintanya mengulang-ulang pengakuannya.
Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di emapt tempat yang berbeda.
Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan berkata,”Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari ?”. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).
Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.
Dasarnya adalah sebuah hadits berikut :
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
b. Saksi yang bersaksi di depan mahkamah
Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasrkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.
Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :
- Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,” Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan”.(QS. An-Nisa` : 15).
Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Nughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad.
Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh, maka persaksian itu tidak syah.
- Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.
- Para saksi ini adalah orang–orang yang beragama Islam.
- Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina.
- Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa kiasan.
- Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dna dalam satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka.
- Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian mereka tidak syah.
Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman hudud, tetapi bisa dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam syariat secara baku.
Bahkan bila ada seorang wanita hamil dan tidak ada suaminya, tidak bisa langsung divonis telah berzina. Tetap diperlukan pengakuan atau persaksian. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib bertanya kepada wanita yang hamil di luar nikah,”Apakah kamu dipaksa berzina ?”. “Tidak”. “Barangkali ada laki-laki yang menidurimu saat kamu tidur ? “. . .
Hanya Imam Malik ra. yang mengatakan bahwa bila ada wanita hamil tanpa suami dan tidak ada indikasi diperkosa, maka wanita itu harus dihukum hudud.
Pustaka
● Kajian Tafsir Ayat Ahkam
Ayat-ayat Al-Quran Yang Mengandung
Hukum syariat
Penulis Ahmad Sarwat, Lc
1. Tafsir At-Thabari, juz 6
2. Wahbat Az-Zuhaili Dr., Tafsir Al-Munir, Darul Fikr Al-Mu’ashir Libanon
3. Wahbat Az-Zuhaili Dr., Tafir Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj, Daarul Fikr, Damaskus, Syria
4. Wahbat Az-Zuhaili Dr., Nazhoriat ad-Dharurat as-Syar’iyah, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1985
5. Sahih Bukhori 2084 Bab Al-Buyu`
6. Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-borno, Al-Wajiz fi Idhahi Qowa’id al-Fiqhiyah, Univ. Al-Imam Muhammad Ibn Su`ud, Riyadh, 1990[1]
7. Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Borno
8. As-Suyuti Jalaluddin Abd. Rahman, al-Asybah wa Nazhair fi Qowa’id wa Furu` al-Fiqhiyah as-Syafi’iyah, Darul Kutub al-amaliyah, Beirut
9. Kahar Mansyur, Beberapa pendapat tentang riba, Jakarta, Kalam Mulia, 1999
10. ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻭﺍﻟﻤﻌﻤﻼﺕ ﺍﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ ﻓﻲ ﻧﻈﺮ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ
11. Syafi`I Antonio, Muhammad, Bank Syariat dari teori ke praktek, Gema Insani Press, Jakarta 2001,
12. Dr. Abu Sura`i Abdul Hadi MA, Bunga Bank Dalam Islam, Al-Ikhlas Surabaya, 1993, hal 159-160
13. Dr. Dawalibi, Al-Madkhal Ila ‘Ilmi Ushulil Fiqhi, hal 46
14. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1999
15. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999
16. Yusuf Al-Qorodhowi, Fatwa-fatwa kontemporer
No comments:
Post a Comment